Kumohon, jangan berpikir bahwa akronim yang saya pasang di
depan nama hanya embel-embel supaya kelihatan serem. Itu adalah singkatan dari nama lengkap Ida Bagus Gede Wiraga.
Kuhirup udara Bumi untuk pertama kalinya pada tanggal 3 Desember 1985. Saya adalah anak semata wayang.
Kalian pasti berpikir. ‘Wah betapa beruntungnya di timang-timang dan dimanja orang tua.’ Faktanya, menjadi anak
tunggal tidak selalu menyenangkan, percaya deh.
Ibu dan almarhum nenek saya adalah orang-orang yang jago mendongeng. Ibu saya menceritakan banyak kisah dongeng
rakyat Bali
yang penuh petuah juga humoris, saya pun cekikikan begitu sering saat mendengarkannya—rasa-rasanya pingin balik lagi
ke masa-masa itu. Kisah yang tak mungkin saya lupakan seumur hidup mungkin "Men Sugih dan Men Tiwas" dalam bahasa Bali yang
berarti "Bu Kaya dan Bu Miskin" Ceritanya begitu menyentuh benak saya. Cara ibu bercerita saat anak-anak men Tiwas (yang jumlahnya
selusin) bernyanyi-nyanyi menahan rasa lapar selama menunggu ibunya pulang membawa makanan membuat saya tertawa dan terharu.
Saya juga takkan lupa akan kisah "Pan Balangtamak" seorang pria setengah baya yang dengan segala tipu
muslihat mengagumkan dapat mengelabui seluruh desa. Jika saya mengenang saat-saat ibu bercerita mengenai pria itu, saya jadi
tersenyum-senyum sendiri.
Almarhum
kakek saya punya satu mesin jahit. Saat masih kecil, saya sering bermain dengan mesin itu dan mematahkan jarumnya berkali-kali
(salah satu proyek saya adalah membuat semacam dompet dengan menjahit tumpukan kertas karton tebal) Meskipun demikian, saya
tidak ingat beliau mencoba menjauhkan saya dari mesin jahitnya.
Dulu saya
membaca cukup banyak majalah anak-anak, terutama yang memuat cerpen atau dongeng seperti majalah Mentari dan Bobo. Saya mulai
membaca cerita fiksi saat menginjak kelas 4 SD. Saya amat menyukai dongeng. Kisah yang masih membekas di kepala sampai sekarang
adalah dongeng tentang anak laki-laki yang menemukan ikan mas yang bisa bicara di sungai. Anak itu membawanya pulang dan memeliharanya
dalam baskom. Lama-kelamaan si ikan mas membesar dan menunjukkan semakin banyak tanda-tanda keajaiban. Namun, pada suatu hari
anak itu pulang ke rumah dan mendapati ikan ajaibnya telah digoreng oleh ibu tirinya.
Saat berumur sembilan
tahunan, saya menulis cerita original pertama. Sebuah kisah ajaib yang bercerita tentang telur yang jatuh dari langit. Dan
bagaimana nantinya isi telur itu menyelamatkan satu negeri yang di landa kekeringan. Saya berencana menulis ulang cerita itu
suatu saat.
Bersama teman-teman
seangkatan saya pernah mengikuti sanggar tari—tarian Bali tentu saja, saat itu kami masih menduduki bangku kelas lima SD. Salah satunya adalah tari Baris. Menari sangat menyenangkan, tapi ketika akan pentas untuk pertama
kalinya dan kami diharuskan memakai set pakaian yang ribet dan melilit-lilit, segalanya menjadi sangat tidak nyaman (saya
dan beberapa teman muntah-muntah sebelum pentas) Mungkin karena itu dan ditambah nervous yang berlebihan, semua gerakan
formasi tim yang telah dilatih dan diatur sedemikian rupa selama tiga minggu, jadi berantakan.
Masa kanak-kanak saya diisi rasa kehilangan pertama yang menyedihkan. Saya pernah
memelihara sepasang kelinci dan kuberi nama masing-masing Erdo dan Erni. Erdo mati digigit anjing, saya menangisinya selama
tiga malam. Erni menyusul kekasihnya ke alam baka beberapa hari kemudian karena sakit. Kedua kelinci malang itu berumur belum genap setahun.